Kasus Santri Gontor, Pakar Hukum Pidana: Perjanjiannya Batal Demi Hukum

    Kasus Santri Gontor, Pakar Hukum Pidana: Perjanjiannya Batal Demi Hukum

    SURABAYA – Penganiayaan oleh santri Pondok Modern Darussalam Gontor hingga korban meninggal menjadi sorotan publik. Kedua pelaku yang berusia 18 dan 17 tahun merupakan kakak kelas korban saat masih di Pondok Pesantren Gontor (Ponpes Gontor).

    Viralnya surat pernyataan yang wajib ditandatangani orang tua calon santri pondok pesantren tersebut menuai kontroversi di masyarakat. Sebab, dalam surat perjanjian itu tertulis bahwa apabila terjadi sesuatu di Ponpes Gontor, maka orang tua calon santri tidak diperbolehkan untuk melibatkan pihak luar.

    Pakar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga Brahma Astagiri SH MH, melalui wawancara Media pada Kamis (15/9/2022) mengatakan bahwa meski surat perjanjian itu bermeterai dan ditandatangani, namun apabila terjadi sesuatu maka tetap harus melapor kepada polisi. Kemudian, sambungnya, polisi akan melakukan penyelidikan apakah telah terjadi tindak pidana atau tidak. Setelah penyelidikan, apabila polisi yakin ada tindak pidana, maka akan ditingkatkan menjadi penyidikan.

    “Menurut Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek, perjanjian tidak boleh memuat hal yang bertentangan dengan undang-undang dan juga hak-hak konstitusi masyarakat. Artinya, perjanjian tidak boleh membatasi hak orang tua korban untuk melaporkan kematian anaknya kepada aparat yang berwenang, ” ujar Brahma.

    Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga Brahma Astagiri SH MH. (Foto: Istimewa)Restorative Justice.

    Brahma menjelaskan untuk kasus yang mengakibatkan hilangnya nyawa seperti ini sulit untuk dilakukan restorative justice. Restorative justice sendiri, ujarnya, adalah salah satu alternatif penyelesaian perkara pidana dengan mempertemukan korban dan pelaku untuk menyelesaikan permasalahan bersama.

    “Di sini kan korban sudah meninggal. Orang tua korban hanya bertindak sebagai pihak ketiga, ” papar Brahma.

    Menurut Brahma,  restorative justice memiliki beberapa syarat materiil yang harus terpenuhi, seperti kasusnya tidak menimbulkan keresahan dan penolakan dari masyarakat. Namun, ucapnya, kasus penganiayaan tersebut jelas menyebabkan keributan di masyarakat. Selain itu, lanjutnya,  restorative justice juga harus tidak berdampak konflik sosial, adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk melepaskan hak menuntutnya di hadapan hukum, serta memiliki prinsip pembatas.

    “Salah satu pelakunya ada yang sudah berusia 18 tahun. Kalau kedua pelaku sama-sama di bawah umur, masih ada chance untuk dilakukan restorative justice. Tetapi, kita harus melihat juga apakah kesalahan pelaku termasuk kesalahan fatal atau tidak. Kalau kesalahannya ringan masih dimungkinkan restorative justice, ” tutur Brahma.

    Brahma menegaskan esensi dari restorative justice adalah hasil akhirnya harus memperbaiki kondisi korban dan pelaku. Ia menyampaikan untuk kasus-kasus ringan seperti pencurian dan perkelahian memang bisa diselesaikan secara internal, namun untuk kasus penganiayaan yang sampai mengakibatkan kematian seperti ini sebaiknya melibatkan pihak kepolisian agar bisa diinvestigasi lebih lanjut.

    “Kalau sampai kasusnya ditutup-tutupi (oleh Ponpes Gontor, Red), itu bisa termasuk menghambat penyidikan dan penyelidikan, ” tukasnya.

    Sebagai penutup, Brahma berpesan agar kasus ini dijadikan pelajaran bagi pondok-pondok pesantren di luar sana agar memahami hukum dengan baik supaya kasus-kasus seperti ini tidak terulang kembali.

    “Budaya penganiayaan seperti ini harus dihentikan demi kebaikan bersama, ” tutupnya. (*)

    Penulis: Dewi Yugi Arti

    Editor: Feri Fenoria

    surabaya
    Achmad Sarjono

    Achmad Sarjono

    Artikel Sebelumnya

    Jelang HUT Lalu Lintas ke-67, Ditlantas...

    Artikel Berikutnya

    KKN ITS Kembangkan Ekonomi Lokal Kopi Tosari...

    Berita terkait