Soal Jogja Gelut Day, Sosiolog UNAIR: Upaya Masyarakat Lawan Klitih

    Soal Jogja Gelut Day, Sosiolog UNAIR: Upaya Masyarakat Lawan Klitih

    SURABAYA – Belakangan ini muncul turnamen Jogja Gelut Day yang diinisiasi oleh salah satu vokalis band terkemuka di Indonesia serta komunitas Mix Martial Art Yogyakarta. Diketahui, fight club itu muncul dari keresahan masyarakat terhadap tindakan klitih yang membahayakan keamanan dengan mewadahi anggota atau eks klitih turut serta dalam turnamen tersebut.

    Merespons hal itu, Dosen Sosiologi Universitas Airlangga Dr Tuti Budirahayu Dra M Si turut berkomentar. Menurutnya, Fight Club Jogja atau Jogja Gelut Day diinisiasi oleh kelompok masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap fenomena klitih. Kelompok sosial tersebut terdiri dari sosok atau figur masyarakat yang berpengaruh dan dapat menggerakkan masyarakat untuk kebaikan dan ketertiban masyarakat.

    “Dengan demikian, ide kreatif dan inisiatif Jogja Gelut Day dapat dikatakan sebagai salah satu saluran upaya melakukan kontrol sosial terhadap perilaku yang cenderung menyimpang dari remaja yang memiliki kecenderungan mudah tersulut dan melakukan tindakan tawuran (klitih, Red) yang membahayakan orang lain, ” ujarnya, Jum'at (22/7/2022).

    Lawan Klitih

    Tuti menilai bahwa adanya Jogja Gelut Day memungkinkan untuk mengurangi tindak kekerasan yang dilakukan oleh remaja klitih. Kemungkinan itu terjadi bila terdapat inisiator dan penggerak fight club yang merangkul remaja klitih untuk ikut serta dalam turnamen tersebut. Selain itu, dengan memberikan apresiasi serta ruang bagi remaja dalam hal positif dapat mengurangi perilaku agresif klitih.

    “Dalam teori kontrol sosial, hal tersebut merupakan bagian dari upaya mengajak mereka (klitih) untuk terlibat pada kegiatan positif, dan mendidik untuk memiliki komitmen terhadap apa yang mereka tekuni, ” katanya.

    Terlebih, jika remaja diberikan hukuman tanpa memberikan ruang berekspresi dengan persoalan yang dihadapinya, maka fenomena klitih akan terus ada. Menghadapi usia tertentu, khususnya remaja, selain harus memahami persoalan psikologis, secara sosiologi, mereka adalah kelompok masyarakat yang cenderung mempercayai norma dan disosialisasikan oleh kelompok mereka sendiri.

    “Dalam konteks ini, mereka adalah subkultur yang ada di masyarakat, di mana terkadang jika mereka mengembangkan nilai-nilai dan norma-norma menyimpang, (mereka) akan menjadi subkultur menyimpang, ” imbuhnya.

    Dosen Sosiologi Universitas Airlangga Dr Tuti Budirahayu Dra M Si

    Terkait dengan kemunculan Jogja Gelut Day akibat kurang efektifnya aparat keamanan, Tuti mengungkapkan bahwa persoalan menjaga ketertiban sosial merupakan tanggung jawab bersama masyarakat.

    “Justru dengan hadirnya Jogja Gelut Day menunjukkan keberfungsian civil society yang berasal dari kelompok sosial yang memiliki kepedulian tertib masyarakat. jika semua masalah sosial semuanya dibebankan pada aparat keamanan, saya rasa akan menjadi beban berat juga bagi mereka, ” Ujarnya.

    Penulis : Affan Fauzan

    Editor: Feri Fenoria

    surabaya
    Achmad Sarjono

    Achmad Sarjono

    Artikel Sebelumnya

    23.800 Peminat SMUB Jalur Nilai UTBK

    Artikel Berikutnya

    KKN ITS Kembangkan Ekonomi Lokal Kopi Tosari...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Hendri Kampai: Kampung Tematik Produktif, Langkah Menuju Kemandirian Ekonomi Nasional
    Hendri Kampai: Ojek Online Milik Negara, Bayar Aplikasi Pakai Pajak Penghasilan!
    Hendri Kampai: Penjara, Sekolah Kehidupan bagi Si Tukang Nyasar
    Hendri Kampai: Menteri Pertanian Bukan Sekedar Jabatan, Tapi Tantangan Untuk Menyejahterakan Petani
    Menguak Alasan Kuat RM Margono Djojohadikoesoemo Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional

    Ikuti Kami